Pengangguran
Terdidik??
By: Khoiruzadi
LULUS kuliah dan menjadi sarjana ternyata bukan jaminan
bisa langsung memperoleh pekerjaan yang diinginkan.
Bahkan lulusan jurusan favorit pun tak luput dari yang namanya kesulitan dalam
memperoleh pekerjaan, hal itu juga tidak selalu
menjadi tiket yang mujarab untuk lolos dari status penganggur terdidik.
Di media massa, setiap hari
memang selalu muncul iklan lowongan kerja yang menawarkan kesempatan berkarir
bagi pencari kerja, terutama para sarjana dengan kualifikasi kompetensi
tertentu. Tetapi, ironisnya, dari berbagai persyaratan dan kualifikasi tenaga
kerja yang dibutuhkan, umumnya tidak banyak yang bisa dipenuhi para pencari
kerja. Karena itu, yang terjadi kemudian tetap saja daftar jumlah pencari kerja
terus bertambah. Lowongan kerja yang senantiasa mensyaratkan penguasaan bahasa
asing (terutama bahasa Inggris), indeks prestasi lulusan minimal 3, dan
lain-lain sering menjadi kendala tersendiri yang memperkecil peluang para
pencari kerja terdidik untuk dapat terserap dalam dunia pekerjaan.
Data
BPS 2015 melaporkan, dari 7,56 juta penganggur di Indonesia sampai Agustus 2015,
ternyata paling banyak didominasi oleh sekolah menengah kejuruan, kemudian
disusul sekolah menengah atas (SMA), kemudian lulusan diploma dan sarjana.. Badan Pusat Statistik (BPS) menguraikan, jumlah lulusan
diploma dan sarjana yang menganggur masing-masing 7, 54 persen dan 6,40 persen.
Secara keseluruhan, di Indonesia jumlah penganggur pada Agustus 2015 mencapai
7,56 juta orang atau 6,84 persen dari total angkatan kerja.
Terlepas apa pun faktor
penyebabnya, fenomena sarjana yang menganggur dan banyaknya penganggur usia
muda yang produktif adalah salah satu isu di bidang ketenagakerjaan yang
membutuhkan perhatian ekstra. Sebab, mereka hanya menambah panjang daftar
jumlah penganggur yang sudah berjubel sebelumnya. Seperti diketahui, ketika
kondisi sektor riil masih lesu dan investasi yang masuk belum terlalu
menggembirakan, bahkan sebagian industri yang sudah ada di tanah air dilaporkan
telah hengkang ke Vietnam dan Tiongkok, salah satu ancaman serius yang dihadapi
pemerintah adalah kemungkinan timbulnya ledakan penganggur terdidik.
Di atas kertas, kesempatan
kerja bagi lulusan perguruan tinggi secara teoretis seharusnya cenderung lebih
terbuka. Dengan begitu, tingkat penganggur dari kelompok tersebut cenderung
lebih kecil daripada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Namun,
kesempatan kerja itu akan menyempit seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan
dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Keyfitz, 1986).
Fakta di lapangan sering
memperlihatkan bahwa proporsi terbesar dari para penganggur adalah mereka yang
memiliki pendidikan lebih tinggi. Kritik yang sering dilontarkan adalah lembaga
pendidikan di Indonesia dinilai tidak dapat mencetak lulusan yang siap pakai,
ada ketidaksesuaian (mismatch) antara output pendidikan dan tuntutan perkembangan
ekonomi, serta kualitas lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha.
Pendidikan yang lebih tinggi kebanyakan menyebabkan anak muda justru menolak
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan sistem manual, termasuk pekerjaan
di sektor pertanian yang dinilai kurang sesuai dengan tingkat pendidikan
mereka. Kalangan terdidik, khususnya lulusan PT, cenderung mencari pekerjaan di
sektor jasa. Padahal, pertumbuhan kesempatan kerja di sektor jasa tidak mampu
mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja terdidik.
Di berbagai daerah, khususnya
perkotaan, ditemui banyak pemuda yang memilih menganggur daripada melakukan
pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan gaji yang
diterima juga dinilai terlalu rendah. Gejala itu terutama terlihat pada
kalangan lulusan PT yang secara ekonomi mapan dan belum berkeluarga. Mereka
biasanya lebih memilih sementara waktu menganggur karena keluarganya mampu
mencukupi kebutuhannya sampai menemukan pekerjaan yang dianggap sesuai dengan
tingkat pendidikannya.
Studi yang dilakukan penulis
(2015) terhadap 50 sarjana yang menganggur menemukan, karena kualifikasi
keahlian yang dimiliki dan kebutuhan pasar tenaga kerja acap mismatch, jumlah sarjana
penganggur pun dari waktu ke waktu terus bertambah. Bahkan, tidak sedikit
sarjana yang termasuk dalam kelompok penganggur yang disebut discourage unemployment (penganggur putus asa), yakni
penganggur sudah bertahun-tahun mencari kerja tapi tanpa hasil karena faktor demand for labor dan supply for labor yang makin tidak seimbang.
Sebuah keluarga yang sudah habis-habisan membiayai kuliah
anaknya sampai lulus terpaksa menjual sebagian lahannya dan tak jarang pula
utang ke sana-kemari untuk biaya kuliah anaknya. Ternyata, anaknya yang sudah
lulus dan menjadi sarjana itu tak kunjung memperoleh kerja. Sangatlah wajar jika sarjana yang menganggur seperti itu menjadi
frustrasi, putus asa, dan lantas menjadi penganggur abadi.
Di luar arti penting komitmen
politis dan dukungan dana untuk membiayai pelaksanaan program penanganan
penganggur terdidik, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam
upaya penanganan penganggur terdidik adalah persoalan substansi program yang
digulirkan dan strategi yang seharusnya dikembangkan untuk menjamin efektivitas
pelaksanaan program itu.
Secara garis besar, arah
kebijakan dan upaya penanggulangan masalah penganggur terdidik seyogianya
mencakup empat hal pokok.
Pertama, bagaimana mendorong pengembangan dan pertumbuhan
kesempatan kerja baru bagi para pencari kerja atau penganggur terdidik, baik
lewat program-program pemerintah maupun multiplier
effect dari kegiatan
investasi swasta.
Kedua, bagaimana meningkatkan kualitas dan posisi tawar para
pencari kerja, termasuk penganggur terdidik yang berminat mencari kerja di luar
negeri agar mereka dapat lebih berdaya serta sesuai dengan kebutuhan pasar
kerja yang ada.
Ketiga, bagaimana membantu dan memfasilitasi pengembangan usaha
mandiri para penganggur terdidik, terutama di sektor UMKM.
Keempat, lebih dari sekadar program pelatihan untuk meningkatkan
kualitas dan kadar keberdayaan SDM pencari kerja yang terdidik, yang dibutuhkan
adalah substansi program pelatihan yang benar-benar dapat dijadikan modal
sosial untuk menyiasati dan mencuri celah pasar yang sangat kompetitif. Diakui
atau tidak, selama ini berbagai kegiatan pelatihan yang dikembangkan BLK maupun
lembaga kursus swasta alam masih belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan
pasar kerja yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar